Kamis, 30 Agustus 2012

“Rekayasa Sosial”


Penulis Buku: Jalaluddin Rakhmat

Ulasan

Berbicara tentang karakter, seringkali kita akan mulai menilik teori-teori psikologi, namun pada ulasan kali ini saya ingin menilik karakter pada batas pemikiran, tindakan dan pergerakan yang terdapat pada buku Djalaludin Rahmat berjudul Rekayasa Sosial ; Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar. Buku tersebut menjelaskan bahwa perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus diawali dengan perubahan cara berpikir, dengan kata lain perubahan kearah perbaikan tidak akan terjadi jika manusia, utamanya pemuda, terjebak dalam pola pikir yang salah. Belakangan Indonesia mulai menata kembali hubungan dan interaksinya, kalau dahulu peperangan terjadi secara fisik sebagai jalan menguasai bangsa lain, kini semua itu beralih melalui bentuk diplomasi, kerjasama atau kelompok kerja dengan tujuan sama, yakni untuk menguasai. Selain itu merebaknya pemikiran-pemikiran, ideologi merupakan sarana untuk meneruskan perang dingin melalui pemikiran tersebut, lalu apa masalah yang menggerogoti karakter pemuda Indonesia sehingga karakter itu pudar, hilang, atau bahkan tergantikan dengan pengaruh pemikiran bangsa lain?
Pemuda kita kini berpikir bahwa materi dan kemewahan adalah hal yang dapat membawa kebahagian, sehingga tidak heran banyak pemuda kita yang belajar jauh di negeri orang dengan biaya mahal dan tidak kembali, karena mengganggap apa yang didapat disana tidak sebanding dengan pendapatan jika mereka kerja di Indonesia, atau mereka yang menganut paham artis-isme dan rela meng-upgrade dirinya agar seperti artis yang diidolakan atau berjuang mati-matian demi merintis jalan menuju popularitas. Bentuk tindakan berupa egoisme para pemuda, kalau kita jalan ke kampus-kampus atau sekolah elite atau semi-elite hal ini sudah cukup membudaya, mayoritas hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Ketika pada 20 Mei 2008 lalu kita memperingati 1 abad pergerakan hari kebangkitan nasional, dimana semangat bangkit itu kini? Kata-kata kebangsaan seolah tinggal kerangkanya saja, hakikat roh-spiritnya seolah sedang ngumpet di alam bawah sadar, belum mau keluar ke alam kesadaran pemuda Indonesia.

Membahas masalah sosial maka kita juga perlu untuk membahas berbagai bentuk dari kesalahan pemikiran yang digunakan manusia dalam memperlakukan masalah sosial yang disebut oleh para ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan pemikiran. Ustadz Djalal mengungkapkan ada dua jenis kesalahan berpikir, yakni intellectual cul-de-sac yang terjadi akibat penggunaan logika yang tidak benar dan mitos, yaitu sesuatu yang tidak benar, tetapi dipercayai oleh banyak orang termasuk oleh para ilmuwan. Dua bentuk kesalahan ini acapkali menghampiri kita dan membuat pemahaman kita terhadap masalah sosial yang dikritisi menjadi tidak tepat dan pada akhirnya tidak bisa menemukan solusi tepat.

Secara umum, intellectual cul-de-sac terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
a. Fallacy of Dramatic Instance,  Pemikir jenis ini biasa melakukan apa yang disebut sebagai over-generalisation, yakni penggunaan satu atau dua kasus untuk menggambarkan kondisi sebara umum (general).
b. Fallacy of Retrospective Determinism, Istilah ini menggambarkan kebiasaan orang untuk melihat suatu masalah sosial yang sedang terjadi dengan melacaknya secara historis dan menganggapnya selalu ada dan tak bisa dihindari. Kerancuan seperti ini pada akhirnya membuat kita bersikap fatalis, menyerah pada keadaan, dan selalu melihat kebelakang. Akhirnya, ide-ide untuk mengeluarkan gagasan-gagasan perubahan tidak bisa diaktualisasikan
c. Post Hoc Ergo Propter Hoc, maksudnya apabila ada satu peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyebabkan hal pertama sebab dan hal kedua akibat. X datang sesudah Y, maka Y dianggap sebagai sebab dan Y akibat. Padahal keadaan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa tsb.
d. Fallacy of Misplaced Concretness, tipe ini bisa dimaknai sebagai kekeliruan berpikir yang terjadi karena kita seolah-olah menganggap persoalan yang sedang dibicarakan itu konkret padahal pada kenyataannya ia sangat abstrak. Atau dapat dikatakan, kita mengonkretkan sesuatu yang sejatinya adalah abstrak. Misalnya ada pertanyaan: mengapa umat islam secara ekonomi dan politik lemah? Jawabannya : kita lemah karena sistem. Saat ini kita kembali ke zaman jahiliyah. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya : kita harus mengubah sistem, tetapi sistem itu sendiri pada dasarnya abstrak.
e. Argumentum ad Verecundiam, berargumen atas dasar otoritas. Ada orang yang sering kali berbicara menggunakan otoritas yang telah diakui keberadaannya sebagai dasar pijakan yang kuat baginya untuk berargumentasi. Padahal kalau mau ditelusuri, secara kontekstual, ia bisa saja dipahami secara berbeda. Orang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri. Misalnya : si A mengutip ayat al-Qur’an untuk memaksa lawannya berhenti dengan argumentasinya (apabila ia membantah ayat tsb dikatakan kafir karena tidak mengindahkan perintah yang ada dalam Qur’an). Padahal bisa saja timbul perbedaan pendapat dalam interpretasi makna ayat tersebut. Dan kalaupun si B ingin membantah yang ingin ia katakan adalah penyalahgunaan otoritas Qur’an bukan pada ayat itu sendiri.
f. Fallacy of Composition, untuk tipe pemikiran ini, Ustadz Djalal telah memberikan contoh yang menarik, yakni ketika ada satu keluarga disatu kampung yang memelihara ayam petelor mendapatkan untung besar. Melihat itu, berbondong-bondong masyarakat di kampung itu latah beternak ayam petelor dengan harapan bisa meraih untung besar. Akibatnya, mereka semua satu penduduk itu bangkrut karena banyaknya pasokan telur tidak diimbangi dengan permintaan pasar.
g. Circular Reasoning, artinya logika yang berputar-putar. Pembicaraan yang
dilakukan tak terarah dan mengulang hal-hal yang telah dibicarakan sebelumnya.

Sedangkan mitos, Ustadz Djalal membahas dua jenis mitos, yaitu:
a. Mitos Deviant Mitos, ini berawal dari pandangan bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidak berubah-ubah. Kalaupun terjadi perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang stabil. Mitos ini berkembang dari teori ilmu sosial yang disebut structural functionalism (fungsionalisme struktual).
b. Mitos Trauma, perubahan mau tidak mau menimbulkan reaksi. Bisa berbentuk krisis emosional dan stress mental. Perubahan juga berpotensi menimbulkan disintegrasi pada awalnya. Bisa berbetuk disintegrasi sosial dan disintegrasi individual. Misalnya : ada teori yang dinamakan Cultural Lag (kesenjangan kebudayaan). Perubahan yang terjadi disuatu tempat belum tentu terjadi di tempat lain pada waktu yang bersamaaan. Dan apabila kedua ini bersatu, berpotensi menimbulkan kegamangan. Contoh : sebuah perusahaan yang telah dilengkapi peralatan komputer canggih, namun karyawan2nya tidak mau atau belum belajar mengoperasikannya. Walhasil, komputer hanya menjadi pajangan untuk memperlihatkan “kelas” dari perusahaan tersebut. Dalam hal ini Ustadz Djalal melihat permasalahan karakter pemuda yakni meliputi pemikiran, tindakan dan pergerakan merupakan kesalahan berpikir yang selama ini secara tidak sadar dan atau dibuat guna mereduksi kekuatan bangsa dan karakter pemuda itu sendiri

Ada dua macam bentuk perubahan sosial, yakni perubahan sosial yang terjadi secara terus-menerus, tetapi berlangsung secara perlahan tanpa kita rencanakan disebut unplanned social change (perubahan sosial yang tidak terencana). Hal ini disebakan oleh perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi. Bentuk kedua adalah perubahan sosial yang kita rencanakan tujuan dan strateginya yang disebut planned social change (perubahan sosial terencana). Seringkali disebut juga dengan istilah social engineering atau social planning. Contoh dari planned social change adalah pembangunan (development) yang berkisar pada bagaimana mengubah satu masyarakat dengan mengubah sistem ekonominya yang biasanya berpegang pada Ekonomi Klasik. Ustadz Djalal mengatakan bahwa sebenarnya selama Orde Baru kita telah melakukan rekayasa sosial dengan pola development. 

Pada masalah ini maka perubahan social haruslah terencana (planned social changed) yang dilaksanakan secara terus menerus meskipun perubahan itu secara perlahan, sebab Ustadz Djalal pada bab terakhir bukunya memaparkan tentang revolusi. Pada umumnya, revolusi terjadi ketika banyak orang merasa tidak puas dengan keadaan yang terjadi. Krisis yang melanda menuntut hadirnya suatu perubahan fundamental dan holistik, adanya reformasi yang mungkin sebelumnya sudah terjadi dirasa berjalan terlalu lamban dan tidak menyelesaikan permasalahan. Dari kondisi inilah kemudian perubahan total dianggap perlu sebagai jawaban, perubahan semacam ini disebut revolusi.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. nice,

    ujung2nya, Gerakan Sosial Baru,

    BalasHapus
  3. Melihat konteks perubahan revolusi bisa kita cermati 3 anasir revolusi perancis, yakni liberte, egalite, fraternite (kebebasa, persamaan, dan persaudaraan), namun dalam praktiknya 3 anasir tersbut jauh dari tujuan. Mayoritas rakyat perancis waktu itu terfokus pada usaha bagaimana untuk terbebas dari feodalisme, yang pada akhirnya mereka lupa bahawa kebebasan individu mereka telah melupakan hak-hak persaudaraan dan persamaan.

    sama hal nya dengan masa peralihan Indonesia dari presidensiil menuju parlementer dan kembali ke presidenssil melalui dekrit presiden. Pada zaman pasca merdeka itu 2 kesadaran politik, sadar karena keyakinan dan sadar karena mencari jaminan. Tampaknya, hal tersebut (seperti yg diprediksi hatta) masih menggejala sekarang ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah... sudah seperti orang jurusan sejarah mas..

      Hapus