Penulis Buku: Jalaluddin Rakhmat
Berbicara
tentang karakter, seringkali kita akan mulai menilik teori-teori psikologi,
namun pada ulasan kali ini saya ingin menilik karakter pada batas pemikiran,
tindakan dan pergerakan yang terdapat pada buku Djalaludin Rahmat berjudul Rekayasa Sosial ; Reformasi, Revolusi atau Manusia
Besar. Buku tersebut menjelaskan
bahwa perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus diawali
dengan perubahan cara berpikir, dengan kata lain perubahan kearah perbaikan tidak
akan terjadi jika manusia, utamanya pemuda, terjebak dalam pola pikir yang
salah. Belakangan Indonesia mulai menata kembali hubungan dan interaksinya,
kalau dahulu peperangan terjadi secara fisik sebagai jalan menguasai bangsa
lain, kini semua itu beralih melalui bentuk diplomasi, kerjasama atau kelompok
kerja dengan tujuan sama, yakni untuk menguasai. Selain itu merebaknya
pemikiran-pemikiran, ideologi merupakan sarana untuk meneruskan perang dingin
melalui pemikiran tersebut, lalu apa masalah yang menggerogoti karakter pemuda Indonesia
sehingga karakter itu pudar, hilang, atau bahkan tergantikan dengan pengaruh pemikiran
bangsa lain?
Pemuda kita kini berpikir bahwa
materi dan kemewahan adalah hal yang dapat membawa kebahagian, sehingga
tidak heran banyak pemuda kita yang belajar jauh di
negeri orang dengan biaya mahal dan tidak kembali, karena mengganggap apa yang didapat disana tidak sebanding dengan pendapatan jika mereka kerja
di Indonesia, atau mereka yang menganut paham artis-isme dan rela meng-upgrade dirinya agar seperti artis yang diidolakan atau berjuang mati-matian
demi merintis jalan menuju popularitas. Bentuk tindakan berupa egoisme para pemuda, kalau kita jalan ke kampus-kampus
atau sekolah elite atau semi-elite hal ini sudah cukup
membudaya, mayoritas hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Ketika pada 20 Mei 2008 lalu kita memperingati 1 abad pergerakan hari
kebangkitan nasional, dimana semangat bangkit itu kini? Kata-kata
kebangsaan seolah tinggal kerangkanya saja, hakikat
roh-spiritnya seolah sedang ngumpet di alam bawah sadar,
belum mau keluar ke alam kesadaran pemuda Indonesia.
Membahas
masalah sosial maka kita juga perlu untuk membahas berbagai bentuk dari
kesalahan pemikiran yang digunakan manusia dalam memperlakukan masalah sosial
yang disebut oleh para ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan pemikiran. Ustadz
Djalal mengungkapkan ada dua jenis kesalahan berpikir, yakni intellectual cul-de-sac yang terjadi
akibat penggunaan logika yang tidak benar dan mitos, yaitu sesuatu yang tidak
benar, tetapi dipercayai oleh banyak orang termasuk oleh para ilmuwan. Dua
bentuk kesalahan ini acapkali menghampiri kita dan membuat pemahaman kita
terhadap masalah sosial yang dikritisi menjadi tidak tepat dan pada akhirnya
tidak bisa menemukan solusi tepat.
Secara umum, intellectual cul-de-sac terbagi atas
beberapa jenis, yaitu:
a. Fallacy of Dramatic Instance, Pemikir jenis ini biasa melakukan apa yang
disebut sebagai over-generalisation, yakni penggunaan satu atau dua kasus untuk
menggambarkan kondisi sebara umum (general).
b. Fallacy of Retrospective Determinism, Istilah
ini menggambarkan kebiasaan orang untuk melihat suatu masalah sosial yang
sedang terjadi dengan melacaknya secara historis dan menganggapnya selalu ada
dan tak bisa dihindari. Kerancuan seperti ini pada akhirnya membuat kita
bersikap fatalis, menyerah pada keadaan, dan selalu melihat kebelakang.
Akhirnya, ide-ide untuk mengeluarkan gagasan-gagasan perubahan tidak bisa
diaktualisasikan
c. Post Hoc Ergo Propter Hoc, maksudnya
apabila ada satu peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita
menyebabkan hal pertama sebab dan hal kedua akibat. X datang sesudah Y, maka Y
dianggap sebagai sebab dan Y akibat. Padahal keadaan itu tidak ada
sangkut-pautnya dengan peristiwa tsb.
d. Fallacy of Misplaced Concretness, tipe
ini bisa dimaknai sebagai kekeliruan berpikir yang terjadi karena kita
seolah-olah menganggap persoalan yang sedang dibicarakan itu konkret padahal
pada kenyataannya ia sangat abstrak. Atau dapat dikatakan, kita mengonkretkan
sesuatu yang sejatinya adalah abstrak. Misalnya ada pertanyaan: mengapa umat
islam secara ekonomi dan politik lemah? Jawabannya : kita lemah karena sistem.
Saat ini kita kembali ke zaman jahiliyah. Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Jawabannya : kita harus mengubah sistem, tetapi sistem itu sendiri pada
dasarnya abstrak.
e. Argumentum ad Verecundiam, berargumen
atas dasar otoritas. Ada orang yang sering kali berbicara menggunakan otoritas
yang telah diakui keberadaannya sebagai dasar pijakan yang kuat baginya untuk
berargumentasi. Padahal kalau mau ditelusuri, secara kontekstual, ia bisa saja
dipahami secara berbeda. Orang menggunakan otoritas untuk membela paham dan
kepentingannya sendiri. Misalnya : si A mengutip ayat al-Qur’an untuk memaksa
lawannya berhenti dengan argumentasinya (apabila ia membantah ayat tsb
dikatakan kafir karena tidak mengindahkan perintah yang ada dalam Qur’an).
Padahal bisa saja timbul perbedaan pendapat dalam interpretasi makna ayat
tersebut. Dan kalaupun si B ingin membantah yang ingin ia katakan adalah
penyalahgunaan otoritas Qur’an bukan pada ayat itu sendiri.
f. Fallacy of Composition, untuk tipe
pemikiran ini, Ustadz Djalal telah memberikan contoh yang menarik, yakni ketika
ada satu keluarga disatu kampung yang memelihara ayam petelor mendapatkan
untung besar. Melihat itu, berbondong-bondong masyarakat di kampung itu latah
beternak ayam petelor dengan harapan bisa meraih untung besar. Akibatnya,
mereka semua satu penduduk itu bangkrut karena banyaknya pasokan telur tidak
diimbangi dengan permintaan pasar.
g. Circular Reasoning, artinya logika yang
berputar-putar. Pembicaraan yang
dilakukan tak
terarah dan mengulang hal-hal yang telah dibicarakan sebelumnya.
Sedangkan
mitos, Ustadz Djalal membahas dua jenis mitos, yaitu:
a. Mitos Deviant Mitos, ini berawal dari
pandangan bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidak berubah-ubah. Kalaupun
terjadi perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang
stabil. Mitos ini berkembang dari teori ilmu sosial yang disebut structural
functionalism (fungsionalisme struktual).
b. Mitos Trauma, perubahan mau tidak mau
menimbulkan reaksi. Bisa berbentuk krisis emosional dan stress mental.
Perubahan juga berpotensi menimbulkan disintegrasi pada awalnya. Bisa berbetuk
disintegrasi sosial dan disintegrasi individual. Misalnya : ada teori yang
dinamakan Cultural Lag (kesenjangan kebudayaan). Perubahan yang terjadi disuatu
tempat belum tentu terjadi di tempat lain pada waktu yang bersamaaan. Dan
apabila kedua ini bersatu, berpotensi menimbulkan kegamangan. Contoh : sebuah
perusahaan yang telah dilengkapi peralatan komputer canggih, namun karyawan2nya
tidak mau atau belum belajar mengoperasikannya. Walhasil, komputer hanya
menjadi pajangan untuk memperlihatkan “kelas” dari perusahaan tersebut. Dalam
hal ini Ustadz Djalal melihat permasalahan karakter pemuda yakni meliputi pemikiran,
tindakan dan pergerakan merupakan kesalahan berpikir yang selama ini secara
tidak sadar dan atau dibuat guna mereduksi kekuatan bangsa dan karakter pemuda
itu sendiri
Ada dua macam
bentuk perubahan sosial, yakni perubahan sosial yang terjadi secara
terus-menerus, tetapi berlangsung secara perlahan tanpa kita rencanakan disebut
unplanned social change (perubahan
sosial yang tidak terencana). Hal ini disebakan oleh perubahan dalam bidang
teknologi atau globalisasi. Bentuk kedua adalah perubahan sosial yang kita
rencanakan tujuan dan strateginya yang disebut planned social change (perubahan
sosial terencana). Seringkali disebut juga dengan istilah social engineering
atau social planning. Contoh dari planned social change adalah pembangunan
(development) yang berkisar pada bagaimana mengubah satu masyarakat dengan
mengubah sistem ekonominya yang biasanya berpegang pada Ekonomi Klasik. Ustadz
Djalal mengatakan bahwa sebenarnya selama Orde Baru kita telah melakukan
rekayasa sosial dengan pola development.
Pada masalah
ini maka perubahan social haruslah terencana (planned social changed) yang
dilaksanakan secara terus menerus meskipun perubahan itu secara perlahan, sebab
Ustadz Djalal pada bab terakhir bukunya memaparkan tentang revolusi. Pada
umumnya, revolusi terjadi ketika banyak orang merasa tidak puas dengan keadaan
yang terjadi. Krisis yang melanda menuntut hadirnya suatu perubahan fundamental
dan holistik, adanya reformasi yang mungkin sebelumnya sudah terjadi dirasa
berjalan terlalu lamban dan tidak menyelesaikan permasalahan. Dari kondisi
inilah kemudian perubahan total dianggap perlu sebagai jawaban, perubahan semacam
ini disebut revolusi.